Keberadaan Debt Collector Dilindungi Aparat Berkuasa?
24 Februari 2023 | Dilihat: 44 Kali
Stefanus Gunawan, SH, M.Hum
PROGRAM pemberantasan preman oleh Kepolisian, sepertinya hanya sebatas slogan. Hangat-hangat kotoran ayam. Memang terjadi secara berkala preman dirazia, ditangkapi polisi, dan ada yang diproses hukum. Tapi penumpasan terhadap preman, biasanya terjadi pasca aksi yang telah menimbulkan korban. Selebihnya, tindakan mereka tetap meresahkan masyarakat.
Misalnya, seperti aksi perampasan mobil milik Selebgram Clara Shinta, dan caci makinya preman penagih utang (debt collector) terhadap angota polisi pada 8 Februari 2023, yang membuat geram Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran. Kepolisian lalu melancarkan razia premanisme di wilayah Jakarta. Seakan preman bakal disikat habis.
Contoh ini terkesan polisi baru bertindak jika aksi premanisme timbulkan korban dan jadi viral di tengah masyarakat. Padahal, di negeri ini setiap hari terjadi aksi premanisme di berbagai daerah. Sangat meresahkan, dan dapat mengancam fisik serta jiwa manusia.
Pertanyaannya, apakah program polisi berantas premanisme masih berjalan, mengingat aksi kejahatan yang dilakukan semakin merajalela. Terutama mereka para penagih utang, seolah mereka kebal hukum, dan terkesan dilindungi oleh oknum petinggi polisi atau pihak yang punya pengaruh di negeri ini.
Untuk mengetahui lebih lanjut perihal premanisme di negeri ini, H. Sinano Esha dari BRAVO8NEWS.COM baru-baru ini mewawancarai Stefanus Gunawan, SH, H.Hum, advokat senior yang juga Ketua DPC Peradi SAI Jakarta Barat, dan Ketua LBH Serikat Pemersatu Seniman Indonesia.
Di bawah ini petikan wawancaranya:
Tindakan preman berprofesi sebagai penagih utang (debt collector) selain meresahkan masyarakat, juga tak lagi menghargai aparat polisi, dan tak peduli terhadap ketentuan hukum. Menurut Anda, penyebabnya apa?
Penagih utang adalah profesi yang umumnya dilakoni sosok preman, di mana tindakannya dapat dikategorikan premanisme. Kelompok orang yang mendapatkan penghasilan dari pemerasan, maupun kejahatan lainnya.
Mereka adalah para penganggur yang tak mengerti hukum, tak punya keahlian atau skil, hanya mengerti tindakan kekerasan, dan segala sesuatunya diselesaikan dengan otot, bukan otak.
Sebagai penagih utang, tentu ada yang menggerakan, ada yang menyuruh. Tentunya jasa preman itu dibayar. Lantaran diupah, bersedia melakukan apa saja, tak peduli tindakannya melanggar hukum atau meresahkan orang lain.
Stefanus Gunawan, SH, M. Hum - Ketua DPC Peradi SAI Jakarta Barat
Penyebabnya, ada yang menggerakan. Penggeraknya, selain individu untuk urusan utang, dan umumnya perusahaan leasing terkait kredit kendaraan macet.
Masalah penyelesaian utang piutang, maupun kredit macet bukankah sudah diatur di dalam ketentuan perundang-undangan. Lantas, apakah tindakan debt collector dapat dipidana maupun digugat?
Tentang kredit macet dan utang piutang, ada proses hukumnya. Seseorang tidak boleh menagih utang dengan cara kekerasan fisik, intimidasi, atau bentuk tindakan kriminal lainnya. Perusahaan leasing tak bisa merampas kendaraan secara semena-mena lantaran angsuran belum dibayar konsumennya.
Jika itu dilakukan, sekalipun menggunakan jasa debt collector, korban yang dirugikan akan menempuh jalur hukum, baik secara pidana maupun perdata. Yang menyuruh dan premannya akan dilaporkan ke polisi, serta digugat ke pengadilan.
Intimidasi, mengancam orang lain hingga ketakutan, terlebih lagi tindakan fisik menyebabkan luka-luka, serta merampas kendaran kendaraan adalah perbuatan pidana diatur dalam Pasal 170 dan Pasal 336 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Pasal 170 KUHP menyatakan: “Barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun”.
Begitu juga dengan hukuman pada Pasal 351 KUHP tentang penganiayan, atau pemukulan hingga luka-luka. Harus diketahui, bahwa kejahatan melanggar Pasal 170 dan 351 KUHP bukan delik aduan, polisi akan bertindak sekalipun tidak ada aduan dari korban.
Sementara Pasal 336 KUHP disebutkan: “(1) Dihukum penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan, barangsiapa yang mengancam dengan kekerasan dimuka umum dengan memakai kekuatan bersama-sama, kepada orang atau barang; dengan sesuatu kejahatan yang mendatangkan bahaya bagi keamanan umum dari orang atau barang; dengan memaksa atau dengan perbuatan yang melanggar kesopanan; dengan sesuatu kejahatan terhadap jiwa orang; dengan penganiayaan berat atau dengan pembakaran.
(2) Jika ancaman itu dilakukan dengan tulisan atau dengan perjanjian tertentu, di hukum penjara selama-lamanya lima tahun”
Kenapa masih ada pihak yang sengaja melanggar hukum dengan menggunakan jasa debt collector, jika sudah ada perundang-undangan?
Beberapa tahun belakangan ini, aksi penagih utang terlihat merajalela, memang. Banyak dikeluhkan masyarakat, terutama mereka selaku debitur kendaraan bermotor. Hanya karena nunggak pembayaran utang beberapa bulan saja, kendaraan dirampas oleh kelompok orang suruhan kreditur, dalam hal ini perusahaan leasing.
Tindakan penarikan maupun perampasan secara paksa kendaraan, itu melanggar ketentuan hukum. Perusahaan leasing tidak boleh sewenang-wenang menarik kendaraan bermasalah, atau kreditnya macet. Mekanisme penarikan, harus melalui proses hukum di pengadilan. Bukan menyuruh kelompok penagih utang menyita.
Ketua LBH Serikat Pemersatu Seniman Indonesia
Muncul pertanyaan, ketentuan hukum ada, ancaman hukuman ada, tapi kenapa masih ada perusahaan leasing menyuruh debt collector nagih utang? Nah, ini tantangan bagi Kepolisian. Polisi harus hadir melindungi dan mengayomi masyarakat dari tindakan kriminal. Tindak tegas kelompok penagih utang, serta pihak-pihak yang menyuruhnya. Jangan dibiarkan.
Jika dibiarkan, merajalela, tidak bisa diatasi, kesannya kelompok preman itu lebih berkuasa dari aparat. Contohnya pada kasus anggota polisi dimaki-maki debt collector saat kendaraan Selebgram Clara Shinta dirampas secara paksa, beberapa waktu lalu.
Peristiwa itu cukup miris, bayangkan saja, anggota polisi yang masih mengenakan pakaian dinas dibentak debt collector. Padahal aparat itu meminta secara santun agar persoalan diselesaikan di kantor polisi.
Kejadian itu tidak bisa dibiarkan, harus ditindak tegas. Negara tidak boleh kalah oleh kelompok preman. Penindakan tak cukup sebatas pada kelompok suruhannya saja, tapi juga pihak yang menyuruh, perusahaan leasing atau invividu pengguna jasa debt collector. Jangan tebang pilih.
Menyadari aksi yang kian merejalela, seakan-akan kebal hukum, apakah debt collector dan perusahaan leasing yang menggerakan dilindungi oleh oknum polisi atau pihak yang berwenang?
Sebenarnya ada program prioritas Polri berantas premanisme. Bahkan masalah meredam aksi tak terpuji kelompok debt collector, Polda Mtero Jaya bekerjasama dengan Kodam Jaya (TNI). Sebagaimana ditegaskan Pamdam Jaya ketika itu dijabat Mayjen TNI Dudung Abdurachman pada 10 Mei 2021, bahwa TNI dan Polri bersinergi menumpas perilaku premanisme yang dilakukan dect collector.
Tapi faktanya, praktik perampasan, intimidasi, ancaman, dan tindak kekerasan masih terus dilakukan oleh para penagih utang. Begitu juga pihak leasing, masih terus menggunakan jasa mereka, tak peduli ketentuan dan keharusan berproses secara hukum. Program prioritas pemberantasan nampaknya cuma slogan.
Pendiri Kantor Pengacara Stefanus & Rekan
Perilaku seperti tak takut itu, seakan mereka dilindungi oleh kekuasaan tertentu, oknum aparat berkuasa, dan memanfaatkan pihak-pihak tertentu. Sehingga intinya merasa kebal hukum. Sekali lagi saya tegaskan, tidak bisa dibiarkan. Aparat harus hadir, tidak boleh kalah.
Sepertinya, untuk berantas secara total, mulai dari kelompok penagih utang, pihak perusahaan leasing maupun oknum yang melindungi (beking), diperlukan tindakan tegas Kapolri dan Panglima TNI. Jika tidak, pelanggaran hukum yang dilakukan debt collector dan pihak yangmenyuruh tak akan hilang. Dan masyarakat pun akan terus merasa terancam dan tak terlindungi.